![]() |
![]() |
![]() |
![]()
Dan selama tujuh tahun perkawinan, rasanya belum sekalipun aku bisa merasa nyaman soal kondisi keuangan kami.
"Sampai
kapan ya, aku harus deg-degan begini?" Lagi-lagi, aku melontarkan
serangan. Dia hanya menatapku sekilas, "Kamu tahu, aku juga berusaha."
Dan ia melangkah keluar, meninggalkanku seperti biasa setiap kali
pembicaraan menyentuh soal uang.
Kondisi
keuangan kami tak bisa dikatakan bermasalah. Jika melihat 'ke bawah',
bisa dikatakan kami cukup beruntung. Kami sama-sama bekerja, dan masih
tinggal di rumah pinjaman orang tua. Tapi memang, keputusanku tiga tahun
lalu untuk mulai berinvestasi di sebuah rumah mungil, membuat kami
harus mongencangkan ikat pinggang. Belum lagi, cicilan sebuah mobil
keluarga yang memang kami butuhkan untuk transportasi sehari-hari.
Praktis.
sebagian besar pendapatan kami tersedot ke cicilan-cicilan itu. Untuk
hidup, kami menggunakan pendapatan ku. Juga untuk pengeluaran tak
terduga lainnya. Jujur, setahun belakangan aku mulai kewalahan. Semakin
banyak biaya tak terduga yang muncul. Terlebih, anak-anak kami semakin
besar. Si sulung di SD, si bungsu di TK.
Jadilah
kami sering sekali ribut soal uang. Aku tahu, ini tabu. "Sudahlah.
Rejeki sudah ada yang mengatur," kata ayahku sekali waktu. Tapi aku
semakin mangkel. Apalagi, sudah bertahun-tahun aku mendesak suami untuk
mencari pekerjaan baru. Sepuluh tahun di kantor yang sama! Lompatan
karier - berikut pendapatan - pasti akan lebih mudah diraih di
perusahaan baru. Dan aku yakin ia mampu. Mendengar karir suami
teman-temanku terus melesat, makin gemas rasanya. Hubungan kami semakin
tegang. Kami makin jarang berkomunikasi, sama-sama memendam kesal.
Suatu
hari, datang kabar duka. Seorang teman pria, sahabat semasa kuliah,
sakit keras. Aku dan teman-teman bergegas menjenguknya. Entah kenapa,
perasaanku sungguh tak tenang. la tampak sangat lemah. Itu sebabnya
sesibuk apapun, aku menyempatkan menjenguknya lagi dan lagi. Benar saja,
dua minggu kemudian ia berpulang. Kepergiannya sungguh mendadak,
membuat kami semua terpukul. Hatiku tersayat melihat kedua buah hatinya.
Usia mereka persis usia anak-anakku. Tujuh dan lima tahun. Di usia
sekecil itu, mereka harus kehilangan ayah, pencari nafkah utama
keluarga. Sekaligus kehilangan kasih sayangnya.
Di
pemakaman, aku menatap istri almarhum bersimpuh di pusara, memeluk dan
memangku anak sulungnya. Satu tangan lain membelai nisan suaminya. Tak
setitik pun air mata mengalir di pipinya. Ia berusaha kuat, demi kedua
anaknya. Meskipun aku teramat tahu, betapa ia memuja suaminya. Betapa ia
sabar merawat dan mendampingi sahabat kami selama sebulan sakitnya.
Betapa perpisahan yang mengejutkan ini membuatnya hampa. Sepeninggal
almarhum, 'lumbung' mereka tinggal sebuah toko kebutuhan pokok yang
selama ini ia kelola. Tapi ia tetap tegar. Dan aku teramat sangat kagum
padanya.
Sepulang
dari pemakaman, aku menghambur, mencari suamiku. Ingin sekali mengucap
kata maaf. Tapi sulit. Air mataku menitik, membayangkan di luar sana,
ada seorang ibu yang harus menidurkan anak-anaknya tanpa kehadiran
pelindung keluarga, Membayangkan ia harus berjuang sendiri, menapaki
jalan panjang, membangun kehidupan keluarga kecilnya yang kini timpang.
Sungguh tak layak aku mengeluh. Ampuni aku, Tuhan. Maafkan aku, suamiku.
|