Hukum Nikah Siri
As salamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tanya: Teman saya (wanita) saat ini ada di luar negri menemui teman online-nya tanpa sepengetahuan orangtuanya. Setelah mereka bertemu mereka memutuskan untuk menikah. Masalahnya dia belum di izin kan orang tuanya buat menikah jadi dia enggan menghubungi orangtuanya dan orangtuanya juga jarang shalat (bahkan dalam setahun mungkin tidak pernah shalat). Jadi dia berencana menghubungi saudara laki-lakinya untuk memberikannya izin buat menikah. Dia bertanya sama saya seandainya dia tidak diizinkan saudara laki-lakinya bolehkah dia meminta wali hakim untuk menjadi walinya, karena ini sangat mendesak? Tolong dijawab segera, karena mereka berencana menikah besok dan dia sangat menantikan jawabannya. Sukran.
Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Zakariya Rishky :
Wa‘alaikum salam. Sebagai pelengkap jawaban tentang nikah siri, … Nikah siri dalam persepsi yang tersebar di masyarakat terdapat beberapa gambaran:
1. Pernikahan laki-laki dan wanita dibawah tangan, yaitu tanpa adanya pencatatan resmi di lembaga resmi yang menangani pernikahan.
2. Pernikahan yang diadakan tanpa adanya wali pihak wanita.
Kaitannya dengan pernikahan siri, dalam penafsiran yang kedua, yaitu pernikahan yang hanya dilangsungkan oleh kedua belah pihak, tanpa adanya wali dari pihak wanita, maka pernikahan tersebut batal dan tidak sah.
Seperti yang telah disebutkan dari kutipan jawaban sebelumnya bahwa syarat pernikahan di antaranya adanya, wali bagi pihak wanita. Di antara dalilnya yang paling tegas, adalah hadits Aisyah, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wanita siapa saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batil –tiga kali-. Dan jika dia telah menggauli wanita tersebut, maka diharuskan untuk menyerahkan mahar atas kemaluan wanita yang telah dihalalkannya, dan jikalau mereka saling bersilang sengketa maka sultan adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. ” [1]
Dan juga hadits Abu Musa al-Asy’ari dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau bersabda, “Tidak sah pernikahan tanpa adanya wali. ” [2]
Ibnul-Mundzir menyebutkan tidak adanya perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam masalah itu.
Wali bagi wanita adalah kerabat al-‘ashabah (kerabat dari nasab laki-laki) yang terdekat dari sisi nasab, kemudian dari sisi sebab kemudian ashabah mereka selanjutnya. Adapun dari kerabat ibu tidak berhak sebagai wali wanita. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Jika si wanita menikah dengan menjadikan kakaknya sebagai wali, pernikahan tersebut sah adanya jika orang tua pihak mengabaikan/melepaskan hak perwaliannya atau menyerahkannya hak perwaliannya kepada kakak si wanita. Namun jika si wanita menikah dengan wali kakaknya atau saudaranya yang lain, tanpa penyerahan hak perwalian dari bapaknya yang masih hidup, wallahu a’lam bish-shawab, pernikahan tersebut tidaklah sah. Pendapat ini sebagaimana yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh di dalam al-Fatawa wa ar-Rasaail 10/113.
Sementara pernikahan di bawah tangan/siri, dalam penafsiran yang pertama, jika syarat-syaratnya terpenuhi pernikahan tersebut sah. Hanya saja, apabila pemerintahan muslim yang bersangkutan mengharuskan adanya pencatatan resmi pada lembaga yang ditunjuk, haruslah untuk mematuhinya. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi fitnah dan mudharat bagi kedua pasangan yang menikah, juga untuk memastikan hak-hak suami maupun istri baik secara hukum syara` dan agar berada di bawah perlindungan pemerintah yang bersangkutan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hukum Mencatatkan Pernikahan Secara Resmi
Oleh: Al Lajnah Ad Daimah
Pertanyaan: Seorang muslim dan muslimah dituntut oleh undang-undang untuk hadir di kantor pencatatan pernikahan (semacam KUA di negeri kita –pent). Maka pergilah sang lelaki dan sang wanita ke kantor tersebut sebelum pernikahan tersebut berlangsung bersama dengan para saksi nikah. Terjadilah di sana ijab kabul. Apakah pernikahan ini sah secara syari’at?
Apabila jawabannya tidak, apakah wajib bagi seorang muslim atau muslimah untuk mendaftarkan pernikahannya secara resmi (sesuai undang-undang) sebelum akad nikah yang syar’i? Perlu diketahui bahwa pencatatan semacam ini bermanfaat untuk memenuhi hak keduanya, baik si suami maupun si istri ketika terjadi konflik?
Jawab:
Jika ijab kabul telah dilaksanakan dengan terpenuhinya syarat-syarat pernikahan dan tidak ada penghalangnya, maka pernikahan tersebut sah. Apabila pernikahan tersebut diatur oleh undang-undang yang memberi kemaslahatan bagi kedua belah pihak di masa sekarang maupun di masa yang akan datang maka wajib untuk ditaati.
Wabillahit taufiq, semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad, kepada keluarga, serta para sahabatnya.
Komite Tetap bagi Penelitian Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudyan
Anggota: Abdullah bin Qu’ud
____________________
[1] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan selainnya. Dishahihkan oleh al-Albani didalam al-Irwa`.
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim dan selain mereka. Al-Bukhari at-Tirmidzi menshahihkan riwayat hadits ini secara maushul/bersambung-. Demikian juga al-Albani menshahihkannya di dalam al-Irwa` dengan beberapa riwayat penguat.
Sumber:
- http://kaahil.wordpress.com/2010/01/04/hukum-nikah-siri-nikah-di-bawah-tangan/
- http://ulamasunnah.wordpress.com/2010/02/27/hukum-mencatat-pernikahan-secara-resmi/
Tanya: Teman saya (wanita) saat ini ada di luar negri menemui teman online-nya tanpa sepengetahuan orangtuanya. Setelah mereka bertemu mereka memutuskan untuk menikah. Masalahnya dia belum di izin kan orang tuanya buat menikah jadi dia enggan menghubungi orangtuanya dan orangtuanya juga jarang shalat (bahkan dalam setahun mungkin tidak pernah shalat). Jadi dia berencana menghubungi saudara laki-lakinya untuk memberikannya izin buat menikah. Dia bertanya sama saya seandainya dia tidak diizinkan saudara laki-lakinya bolehkah dia meminta wali hakim untuk menjadi walinya, karena ini sangat mendesak? Tolong dijawab segera, karena mereka berencana menikah besok dan dia sangat menantikan jawabannya. Sukran.
Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Zakariya Rishky :
Wa‘alaikum salam. Sebagai pelengkap jawaban tentang nikah siri, … Nikah siri dalam persepsi yang tersebar di masyarakat terdapat beberapa gambaran:
1. Pernikahan laki-laki dan wanita dibawah tangan, yaitu tanpa adanya pencatatan resmi di lembaga resmi yang menangani pernikahan.
2. Pernikahan yang diadakan tanpa adanya wali pihak wanita.
Kaitannya dengan pernikahan siri, dalam penafsiran yang kedua, yaitu pernikahan yang hanya dilangsungkan oleh kedua belah pihak, tanpa adanya wali dari pihak wanita, maka pernikahan tersebut batal dan tidak sah.
Seperti yang telah disebutkan dari kutipan jawaban sebelumnya bahwa syarat pernikahan di antaranya adanya, wali bagi pihak wanita. Di antara dalilnya yang paling tegas, adalah hadits Aisyah, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wanita siapa saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batil –tiga kali-. Dan jika dia telah menggauli wanita tersebut, maka diharuskan untuk menyerahkan mahar atas kemaluan wanita yang telah dihalalkannya, dan jikalau mereka saling bersilang sengketa maka sultan adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. ” [1]
Dan juga hadits Abu Musa al-Asy’ari dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau bersabda, “Tidak sah pernikahan tanpa adanya wali. ” [2]
Ibnul-Mundzir menyebutkan tidak adanya perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam masalah itu.
Wali bagi wanita adalah kerabat al-‘ashabah (kerabat dari nasab laki-laki) yang terdekat dari sisi nasab, kemudian dari sisi sebab kemudian ashabah mereka selanjutnya. Adapun dari kerabat ibu tidak berhak sebagai wali wanita. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Jika si wanita menikah dengan menjadikan kakaknya sebagai wali, pernikahan tersebut sah adanya jika orang tua pihak mengabaikan/melepaskan hak perwaliannya atau menyerahkannya hak perwaliannya kepada kakak si wanita. Namun jika si wanita menikah dengan wali kakaknya atau saudaranya yang lain, tanpa penyerahan hak perwalian dari bapaknya yang masih hidup, wallahu a’lam bish-shawab, pernikahan tersebut tidaklah sah. Pendapat ini sebagaimana yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh di dalam al-Fatawa wa ar-Rasaail 10/113.
Sementara pernikahan di bawah tangan/siri, dalam penafsiran yang pertama, jika syarat-syaratnya terpenuhi pernikahan tersebut sah. Hanya saja, apabila pemerintahan muslim yang bersangkutan mengharuskan adanya pencatatan resmi pada lembaga yang ditunjuk, haruslah untuk mematuhinya. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi fitnah dan mudharat bagi kedua pasangan yang menikah, juga untuk memastikan hak-hak suami maupun istri baik secara hukum syara` dan agar berada di bawah perlindungan pemerintah yang bersangkutan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hukum Mencatatkan Pernikahan Secara Resmi
Oleh: Al Lajnah Ad Daimah
Pertanyaan: Seorang muslim dan muslimah dituntut oleh undang-undang untuk hadir di kantor pencatatan pernikahan (semacam KUA di negeri kita –pent). Maka pergilah sang lelaki dan sang wanita ke kantor tersebut sebelum pernikahan tersebut berlangsung bersama dengan para saksi nikah. Terjadilah di sana ijab kabul. Apakah pernikahan ini sah secara syari’at?
Apabila jawabannya tidak, apakah wajib bagi seorang muslim atau muslimah untuk mendaftarkan pernikahannya secara resmi (sesuai undang-undang) sebelum akad nikah yang syar’i? Perlu diketahui bahwa pencatatan semacam ini bermanfaat untuk memenuhi hak keduanya, baik si suami maupun si istri ketika terjadi konflik?
Jawab:
Jika ijab kabul telah dilaksanakan dengan terpenuhinya syarat-syarat pernikahan dan tidak ada penghalangnya, maka pernikahan tersebut sah. Apabila pernikahan tersebut diatur oleh undang-undang yang memberi kemaslahatan bagi kedua belah pihak di masa sekarang maupun di masa yang akan datang maka wajib untuk ditaati.
Wabillahit taufiq, semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad, kepada keluarga, serta para sahabatnya.
Komite Tetap bagi Penelitian Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudyan
Anggota: Abdullah bin Qu’ud
____________________
[1] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan selainnya. Dishahihkan oleh al-Albani didalam al-Irwa`.
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim dan selain mereka. Al-Bukhari at-Tirmidzi menshahihkan riwayat hadits ini secara maushul/bersambung-. Demikian juga al-Albani menshahihkannya di dalam al-Irwa` dengan beberapa riwayat penguat.
Sumber:
- http://kaahil.wordpress.com/2010/01/04/hukum-nikah-siri-nikah-di-bawah-tangan/
- http://ulamasunnah.wordpress.com/2010/02/27/hukum-mencatat-pernikahan-secara-resmi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar